Sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir. 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Itu adalah hasil survei kesehatan mental masyarakat Indonesia pada Mei-Juni 2021. Into The Light dan Change.org melaksanakan survei secara daring terhadap 5.211 responden yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa.
Latar belakang peserta survei beragam secara demografi, misalnya jenis kelamin, kelompok usia, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV.
Andrian Liem, peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light, mengatakan survei ini dilakukan karena di Indonesia karena belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki.
Into The Light adalah sebuah komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia.
Survei melibatkan 5211 responden
Survei kesehatan mental ini diikuti secara daring oleh 5.211 responden yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa.
Latar belakang peserta survei beragam secara demografi, misalnya jenis kelamin, kelompok usia, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV.
Hasil survei bisa diakses di www.change.org/l/id/surveiapakabarmu.
Berdasarkan hasil survei tersebut, stigma atau pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat. Hal ini tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.
“Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” kata Andrian.
Hasil survei menunjukkan mayoritas merasa kesepian
Selain itu, ada hasil survei yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.
Masalah akses layanan kesehatan mental
Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang menemukan bahwa hampir 70% dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir.
Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap tidak terjangkau.
Walau biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS dapat ditanggung dengan gratis, hasil survey mengungkap 7 dari 10 partisipan tidak tahu tentang informasi ini.
Hasil temuan lain adalah hampir 70% partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring (online).
Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah
Walau tidak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien.
“Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. Selain itu pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini,” kata dr. Jiemi.
dr. Jiemi menambahkan, jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa juga meningkat semasa pandemi, namun sebagian besar dari mereka sudah memiliki keluhan berat.
“Saya berasumsi banyak di antara kita terbiasa menunggu gejala yang benar-benar berat baru mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa. Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” kata dr. Jiemi.
Menurut dr. Jiemi, layanan kesehatan jiwa juga mungkin akan menyentuh akar rumput lebih baik jika pemerintah dan instansi terkait bisa bekerjasama dengan komunitas-komunitas terdekat agar target audiens lebih tepat.
Dengan demikian mungkin bisa memperkecil hambatan untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.
Di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan.
Jika merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan di sekitarmu.
Jika tidak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan,” ujar Andrian.