Teori strategi daya saing

BAKTI.ID – Teori strategi daya saing makin berkembang seiring globalisasi yang membawa konsekuensi logis setiap negara di dunia dihadapkan pada situasi persaingan yang ketat. Indeks daya saing senantiasa diukur sejumlah lembaga internasional setiap tahunnya. Peringkat itu membawa implikasi datang atau hengkangnya investor besar pada sebuah negara.

Teori daya saing lahir pada masyarakat industri. Jejaknya tampak mulai dari pendekatan industrial organization (IO-Porterian Model) yang kemudian berkembang menjadi pendekatan competitive dynamics (Smith dan Ferrier), dynamic governance (Neo&Lee), hingga pendekatan regional cluster (Krugman dan Porter) serta pendekatan lain yang dikenal dalam teori-teori resource based (penrose, Barney, Hamel&Prahalad), serta market based view.

Kementerian Perindustrian mengembangkan model KIID (Kompetensi Industri Inti Daerah). Awalnya dikenalkan dengan nama modelisasi SAKA SAKTI. Satu kabupaten satu kompetensi Inti.

Guru Besar Universitas Indonesia Martani Huseini menuturkan, setiap daerah diwajibkan untuk memiliki satu kompetensi inti dalam upaya pengembangan daya saing dari suatu hulu hingga hilir (hilirisasi) dengan memperhatikan aspek-aspek kearifan lokal (local wisdom & local genius) daerah sebagai suatu ciri diferensiasi yang unik, sulit ditiru dan bernilai sebagai kekuatan daya saing suatu daerah yang langgeng (sustainable).

Teori daya saing

Pengertian daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional.

Oleh karena itu dalam konteks kabupaten/kota sebagai sebuah organisasi, daya saing diartikan sebagai kemampuan kabupaten/kota untuk mengembangkan kemampuan ekonomi-sosial wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya.

Baca juga: Indeks daya saing globalIndonesia

Resourced based view vs market based view

Dalam teori manajemen strategik, setidaknya dikenal dua pandangan yang dapat digunakan untuk melandasi pemilihan industri.

1. Pandangan berbasis pasar (market based view).

  • Suatu organisasi hendaknya memilih industri yang produk-produknya sudah jelas diterima pasar.
  • Pemilihan suatu industri hendaknya diorientasikan pada upaya pemenuhan permintaan pasar.
  • Pandangan berbasis-pasar akan mengarahkan kabupaten/kota hanya menghasilkan produk-produk yang pasarnya sudah ada dan dengan demikian meminimalkan risiko produk tidak terjual.

2. Pandangan berbasis sumber daya (resource-based view)

  • Pandangan ini mengatakan bahwa seharusnya kabupaten/kota memilih industri yang sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
  • Hamel dan Prahalad dalam bukunya Competing for the Future menegaskan bahwa sebenarnya cikal-bakal resource based view adalah resourcefullness-based view.
  • Resource dalam bahasa lndonesia diterjemahkan menjadi sumber daya, sementara resourcefullness adalah kepandaian, kecerdikan, atau kelihaian.

Daya saing Indonesia

Persoalan penciptaan daya saing di lndonesia bukanlah persoalan mudah. Berbagai hambatan yang dihadapi bukanlah permasalahan di tataran satu sektor saja, akan tetapi bersifat sangat multi dimensi.

Dalam tataran penciptaan stabilitas makro, hambatan muncul dari adanya permasalahan seperti inflasi, suku bunga tinggi, nilai rupiah yang tidak stabil, serta pengeluaran pemerintah yang defisit.

Investasi mulai membaik namun masih rendah dan pertumbuhan ekspor lebih rendah dari impor. Kemampuan penguasaan iptek yang masih lemah juga tidak mendukung daya saing perekonomian.

Hambatan lain yang muncul adalah terkait dengan peranan lembaga publik. Peranannya relatif masih sangat lemah. Masih ada korupsi dan berbagai pungutan. Praktik kejahatan terorganisasi, serta penegakan hukum kurang.

Analisa lingkungan bisnis

Dalam hal penguasaan manajemen produksi, hambatan muncul dari adanya proses produksi yang belum cukup canggih sehingga tingkat persaingan masih relatif rendah.

Di samping itu, lingkungan bisnis masih belum mendukung karena adanya berbagai pungutan, peraturan yang menghambat, korupsi, dan lemahnya kemampuan pejabat publik.

Banyaknya variabel penghambat tersebut berimplikasi pada indeks daya saing Indonesia kalah dibanding dua negara tetangga terdekat yaitu Malaysia dan Singapura.

Baca: Inovasi daya saing

Teori strategi daya saing memenangkan persaingan kelas dunia

Martani Huseini memperkenalkan pemikiran Rossabeth Mosskanter tentang bagaimana memenangi persaingan kelas dunia atau “world class”.

Agar menjadi world class maka harus memiliki 3 C (Concept, Competence, Connection)

  1. Concept: harus punya konsep yang clear;
  2. Competence; dan
  3. Connection atau koneksi ke pasar.

Tambah satu lagi: Commitment, yaitu komitmen waktu, biaya, dll.

Belajar daya saing dari OVOP Jepang

Tahun 1979. Hiramatsu, Gubernur daerah Oita di Jepang memperkenalkan pendekatan OVOP (One Village One Product), atau Satu Desa Satu Produk.

Pendekatan ini ditujukan membangun daya saing suatu desa atau wilayah tertentu. Berdasarkan keyakinan bahwa daya saing suatu desa (daerah) akan dapat dibangun jika desa yang bersangkutan memfokuskan kegiatan masyarakat di sana untuk menghasilkan satu produk yang dipandang merupakan produk unggulan desa tersebut.

Konsep OVOP dengan cepat diadaptasi masyarakat karena sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang tentu saja sudah akrab dengan produk tertentu yang menjadi unggulan daerah mereka.

Konsep OVOP kemudian juga diadaptasi di beberapa negara di dunia, seperti Tanzania dan Thailand. Di Thailand konsep ini dinamai OTOP (One Tamboon One Product). Tamboon secara bebas dapat diterjemahkan sebagai desa.

Plus minus

Implementasi konsep OVOP diharapkan dapat menghindarkan terjadinya persaingan tidak sehat di antara desa-desa bertetangga karena setiap desa dapat mengembangkan produk unggulan yang saling berbeda.

Mereka dapat mengisi pasar yang sama tanpa harus bersaing secara langsung. Dengan demikian kejenuhan pasar akibat membanjirnya produk yang sama dapat dicegah.

Namun demikian, ada kemungkinan bahwa suatu desa menjadi terlalu “sibuk” dengan produk unggulannya. Sehingga melupakan kemungkinan atau peluang adanya produk potensial lain yang mungkin dapat dikembangkan.

Ada kekhawatiran bahwa suatu desa menjadi terlalu berorientasi pada produk masa kini dan mengabaikan peluang untuk mengembangkan produk masa depan yang barangkali pada saat ini belum diterima pasar atau belum memberikan keuntungan finansial yang memadai. Padahal ada kemungkinan di masa mendatang produk tersebut justru dapat menjadi tulang punggung perekonomian warga desa.

Teori strategi daya saing racikan Indonesia

Martani Huseini menyampaikan pidato pengukuhan guru besar di Universitas Indonesia tahun 1999. Memperkenalkan model SAKA SAKTI (Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti) untuk membangun daya saing daerah.

Jika konsep OVOP bertitik-tolak pada identifikasi dan pengembangan produk unggulan, model SAKA SAKTI lebih difokuskan pada identifikasi kompetensi khas yang dimiliki suatu daerah yang diyakini menjadi sumber terciptanya suatu produk unggulan.

Model SAKA SAKTI difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi yang dimiliki (atau seyogyanya dimiliki) suatu daerah dengan mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada pada suatu daerah.

Identifikasi produk unggulan adalah kunci daya saing

Pengertian sumber daya tidak hanya pada sumber daya alam semata tapi mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitas dan daya inovasi manusia.

Produk unggulan yang diidentifikasi dalam konsep OVOP justru menjadi titik-tolak untuk mengidentifikasi kompetensi inti industri, yaitu kompetensi di bidang industri yang menjadi dasar dalam menghasilkan produk unggulan saat ini.

Produk-produk lain diharapkan memiliki potensi pasar di masa mendatang. Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, maka pembangunan daya saing industri di daerah perlu dilakukan dengan kompetensi inti industri daerah.

Ditinjau dari model persaingan, kompetensi inti industri daerah lebih cenderung pada implementasi dari teori resource-based view (RBV), sedangkan konsep OVOP lebih pada implementasi dari teori market based view (MBV).

Kompetensi Inti Industri Dasar

Kompetensi lnti lndustri Daerah ditemukan melalui 2 (dua) pendekatan.

Pendekatan teoritis dan model persaingan, mulai dari konsep keunggulan bersaing ditambah core competency dan manajemen pengetahuan.

Sedangkanpendekatan kedua diperoleh dari pendekatan empiris melalui pengalaman beberapa negara dan atau provinsi dalam pembangunan industri daerah.

Tahapan Penentuan Kompetensi lnti lndustri Daerah Untuk dapat menentukan dan merumuskan pengembangan kompetensi inti industri daerah, diperlukan tahapan kajian.

  1. Pengenalan kondisi daerah dengan menyusun daftar potensi dan permasalahan yang ada;
  2. Identifikasi sektor beserta sub-sektor industri yang menjadi andalan suatu daerah;
  3. Identifikasi produk unggulan;
  4. Penyaringan hasil identifikasi produk unggulan sehingga mendapatkan produk unggulan prioritas;
  5. Penyusunan rantai nilai atau value chain untuk produk unggulan;
  6. Penentuan kompetensi inti industry;
  7. Penyusunan strategi pengembangan kompetensi inti industry;
  8. Penyusunan action plan

Klaster Industri

Cluster Industri merupakan suatu wilayah konsentrasi dari beberapa perusahaan terkait. Memiliki spesialisasi sebagai pemasok dan penyedia jasa, perusahaan dengan industri terkait, dan institusi terkait.

Cluster Industri merupakan pengintegrasian secara penuh kegiatan di sepanjang rantai nilai.

Suatu cluster adalah kelompok yang secara geografis berdekatan, terdiri dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi terkait dalam bidang tertentu, dihubungkan dengan adanya kebersamaan (commonalities) dan sifat saling melengkapi (complementarities) satu sama lain.

Bentuk klaster mempengaruhi daya saing

Bentuk cluster bermacam-macam, tergantung pada kedalaman dan kecanggihannya. Kebanyakan melibatkan perusahaan produk akhir (end-product companies), spesialis pemasok sumber daya, komponen, mesin dan layanan yang merupakan input dari perusahaan produk akhir, institusi keuangan pendukung dan perusahaanperusahaan dalam industri terkait.

Cluster juga dapat melibatkan perusahaan dalam industri lanjutan (downstream industries).

  • Saluran perantara atau pelanggan langsung dari industri,
  • produsen produk komplementer,
  • pemerintah dan institusi lainnya yang spesialis dalam menyediakan pelatihan, edukasi, informasi, riset, dan dukungan teknis (misalnya perguruan tinggi,
  • lembaga think tanks,
  • penyedia pelatihan keterampilan) dan
  • badan penentu standar mutu.

Ini kunci keunggulan sebagaimana diterangkan dalam teori strategi daya saing di atas.

Badan pemerintah secara signifikan dapat mempengaruhi cluster, bahkan dianggap sebagai bagian dari cluster.

Ditinjau dari aspek ekonomis, terdapat 4 (empat) tipe keterkaitan meliputi :

1) integrasi vertical dengan pelanggan,

2) integrasi vertikal dengan pemasok,

3) integrasi horinzontal dan

4) diversifikasi.

Demikianlah pembahasan tentang teori strategi daya saing. Baca artikel menarik lainnya di sini.

Referensi:

[1] Bahan Kuliah Daya Saing Daerah dan Nasional di Program Magister Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia 2013.
[2] Fahmi Wibawa dalam Inovasi Sebagai Referensi, sebuah pemaparan hasil temuan monitoring pelaksanaan otonomi daerah di Jawa Timur, 2004. Tim JPIP. Partnership.
[3] Tim JPIP, ibid.
[4] Dedi Mulyadi, Manajemen Perwilayahan Industri, 2012, Leuser Cita Pustaka: Jakarta.
[5] Sidajateng

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *